Kepada SuamiMenjadi istri, dan juga menjadi suami, adalah proses pembelajaran yang terus menerus. Ia tak sekedar membutuhkan naluri, insting atau apapun namanya, tetapi ia membutuhkan banyak hal yang mendukungnya untuk senantiasa siap dalam kondisi belajar. Belajar tentang apapun juga, agar pernikahan sebagai sebuah tangga pendakian menjadi pengantar yang mengasyikkan untuk mencapai ridhaNya.
jangan beri aku bunga
lalai aku nanti
memandanginya dan menciumi
wanginya
jangan pula kau beri aku
setumpuk busa berwarna biru
sibuk nanti aku
membaca novel seraya menikmati empuknya
tak usah pula kau hadiahi aku
dengan sebatang coklat
yang rasanya memabukkan
karena akan rusak gigiku
dan mencuri waktuku
biarkan aku bercanda dengan mautku
karena aku tak tahu lagi
kapan ia hendak menjemputku
Bukan lagi sebagai sebuah siksaan, rutinitas yang menjenuhkan atau kebosanan yang dipelihara karena tak ada lagi yang lainnya. Tak ada satu orang yang berhak lebih dominan dibanding yang lainnya, atau tak ada yang boleh merasa terzhalimi oleh pasangannya. Ia adalah bejana bening yang ditentukan warna dan isinya oleh suami dan istri secara bersama-sama.
Itu sebabnya, pernikahan sebagai sebuah ibadah yang “unik”, karena tak semata-mata menyangkut keinginan pribadi, tetapi mesti mengkompilasi, mengkompromi dan menoleransi cita-cita dan harapan, setidaknya, dua orang, dinamai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai nisfud din, setengah agama.
Tak mudah dan tak bisa begitu saja memulas warna pernikahan itu menjadi warna harmonis yang layak dipamerkan di sebuah galeri sebagai al usroh al mitsaliyah, rumah tangga percontohan. Orang–orang di luar mereka memandangnya dengan keinginan untuk meneladaninya, tetangga-tetangga mereka merasa nyaman dengan kehadirannya, anak-anak di sekitarnya menjadikan mereka sebagai guru yang layak didengar. Duhai, alangkah indahnya kotak cantik yang bernama pernikahan itu.
Banyak akhwat, dan mungkin juga ikhwan, membayangkan bahwa pernikahan itu ibarat melewati jalan tol dengan mobil keluaran terbaru dan di pinggir-pinggir jalan dihiasi rumpun-rumpun mawar yang baunya semerbak dan warnanya meneduhkan mata. Mereka tak sepenuhnya salah. Asal mereka tahu, setelah jalan tol itu berlalu, mungkin mereka harus berbelok di jalan becek atau mobilnya ditilang oleh polisi, atau terbentang sungai tanpa jembatan, atau yang lain.
Pernikahan itu, tak hanya wangi seperti di saat walimatul ursy. Mungkin ada kalanya kompor minyak tanah perlu dicabuti sumbunya sehingga bau minyak tanah melekat di antara jari-jari. Atau saat sang bayi pipis dan buang air besar, ia menjadi belepotan dengannya. Tak masalah sebenarnya, toh setelah itu semuanya mudah dibersihkan. Yang menjadi masalah, bila kesan yang tertanam di benak salah satu di antara mereka adalah kesan ketika pasangannya tak sedang “wangi”. Adakah yang lebih bisa dijadikan hiburan di saat gundah dengan hal ini bila memori penuh dengan hal yang tak mengenakkan?
Saat marah, saat tak berkenan, saat berkata dengan nada tinggi, saat tak melepas kepergian dengan senyum kerelaan, saat tak menyambut pulang dengan wajah sumringah, saat akhir bulan tak ada lagi beras yang bisa dijadikan bubur untuk mengganjal perut yang lapar, saat rumah berantakan oleh kertas dan sampah makanan. Waduh! Mengapa dia menjadi suamiku? Waduh! Wengapa pula dia menjadi istriku?
Ada yang bercerita, sesungguhnya ia sama sekali tak bermasalah dengan suaminya. Ia menerima dengan cinta yang datang perlahan, ia mendapatkan kecocokan dan ia dapat tertawa lepas bersamanya. Lalu apa masalahnya? Ia merasa mereka tak saling menulari dalam kebaikan tapi terkadang tertular dalam keburukan. Satu tak tilawah yang satu ikut-ikutan. Satu sulit (ini masalah kebiasaan sebenarnya, bukan stempel yang tak bisa diubah!) menghafal Al Qur’an, eh yang lainnya juga.
“Benar-benar defisit hafalan saya, dibandingkan ketika masa gadis dulu!”
Atau kebiasaan buruk lainnya seperti menggigit jari kuku, menaruh handuk sembarangan, lupa meletakkan kunci. Wah…wah…wah… , inilah kenikmatan dunia yang bernama pernikahan!
Betapa kebutuhan untuk menjadi diri sendiri adalah keniscayaan dalam pernikahan. Siapapun dia, dia membutuhkan ruang untuk diterima secara utuh dan dihargai pemberiannya dengan kelapangan dada. Tidak selamanya diharuskan ada tadhiyyah dalam masalah- masalah tertentu, apalagi bila masalah itu tak melanggar syar’i. Selera, misalnya. Mengapa ia harus meniadakan keinginannya membeli tahu pong, makanan favoritnya, gara-gara suaminya lebih menyukai tempe mendoan? Mengapa ia harus memaksakan diri kalau itu menyiksanya?
Meski tak ada yang menyalahkannya ketika akhirnya ia bisa “membuang” seleranya dan menggantikannya dengan selera pasangannya. Apalagi bila hal itu berdiri di atas nama cinta. Silakan, bila tak ada yang merasa terkalahkan hanya gara-gara tahu dan tempe! Semua itu masalah pilihan, tak ada yang lebih benar dibanding lainnya.
Pernikahan membutuhkan energi untuk ikhlas memberi sekaligus menerima. Dengan energi keikhlasan inilah sesungguhnya roda pernikahan itu akan menggelinding mulus meski berbagai halangan dari pasir, kerikil, lumpur becek, sampai jalan berapit jurang akan mudah dilalui. Tak ada yang merasa lebih berharga dan lebih berjasa satu dengan lainnya. Juga tak boleh ada yang menghitung mengeluarkan terlalu banyak bila dibandingkan dengan apa yang dia terima.
Bila ternyata Allah menghadiahi kita dengan pernikahan barakah, kita pun telah dapat mengecap makna sakinah, mawaddah, wa rahmah. Maka sesungguhnya ujian kita akan berbentuk lain.
Aisyah radhiyallahu anha, istri terkasih Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam meriwayatkan sebuah hadits panjang tentang sebelas perempuan yang saling berjanji untuk jujur dan tidak saling merahasiakan sesuatu pun tentang tingkah laku suaminya. Ada Ummu Zar yang amat disayang oleh suaminya dan diberi berbagai macam pemberian. Meski akhirnya ia dicerai, Ummu Zar tahu, tak ada yang bisa menggantikan Abu Zar dan menyamai pemberiannya.
Bahkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, pria teragung itu, dalam sabdanya kepada Aisyah, “Aku dan engkau ibarat Ummu Zar, tetapi Abu Zar menceraikan Ummu Zar, sedangkan aku tidak menceraikanmu.”
Seringkali, manusia menjadi lupa bila Allah memberinya ujian berupa kenikmatan. Padahal ketika ujian yang datang berupa kesedihan, ketidaknyamanan, masalah yang datang bertubi, ketidakcocokan dengan karakter pasangan atau sedikit kekurangan materi, maka ia akan datang bersimpuh kepada Allah dengan sepenuh kerendahan hati, mengadu dan mengucurkan air mata agar Allah senantiasa membantunya menyelesaikan problemnya. Bila yang terjadi sebaliknya, suami sayang istri, tidak perhitungan (baca: tidak pelit) ketika memberi, tak pernah saling bentak, bila marah cepat redanya dan sayangnya bertambah setelah itu, jarang yang menghiba-hiba kepada Allah agar amanah keserasian itu sampai ke surgaNya.
Itu sebabnya saya mengungkap hal ini dalam puisi kecil dan sederhana itu. Bahwa inti pernikahan, menurut saya, sesungguhnya adalah tarbiyah. Seorang suami men-tarbiyah istrinya dan sebaliknya. Meski tak secara formal, mereka paling berhak menjadi murabbi bagi lainnya. Karena mereka adalah dua sosok individu yang dipertemukan dan didekatkan Allah karena rahmatNya. Tidak ada hubungan yang istimewa dan erat sebagaimana hubungan antara suami dan istri. Tidak ada yang bisa menggantikan satu dengan yang lainnya. Pun, tidak ada relasi apapun yang bisa menyamai relasi berumahtangga.
Seorang suami, karena kedekatannya itu menjadi faham betul, kapan sang istri dalam kondisi futur. Begitu pula, sang istrilah yang paling mengerti sudah berapa hari, pekan bahkan bulan, sang suami tak tilawah Al Qur’an di rumahnya. Faktor inilah yang menjadikan tarbiyah berbasis rumah adalah tarbiyah yang efektif. Karena sang pengobat tahu penyakit mana yang mesti diobatinya terlebih dahulu.
Sayangnya, banyak rumah tangga ikhwah, tak seideal (kita berharap: mungkin sedang menuju ideal), seperti konsep-konsep tarbiyah rumah tangga seperti yang ditulis di banyak buku. Betapa sibuk sang bapak men-tarbiyah sekelilingnya, remaja masjid, mahasiswa di kampus, teman-teman di kantornya atau taklim rutin bapak-bapak pengurus masjid, tetapi saking sibuknya, ia lupa bahwa istri dan anak-anaknya juga membutuhkan sentuhan indah dari lisannya. Bahkan untuk sekedar berbagi cerita.
Seringkali pula sang bapak beralasan, “Apapun yang bapak lakukan itu adalah tarbiyah buat kalian, jadi lihatlah tindakan bapak, perhatikan bagaimana bapak mengambil keputusan atau cara bapak menengahi perselisihan.”
“Inilah cara bapak mentarbiyah kalian. Jadi tak usahlah diformalkan seperti forum yang melingkar itu!”
Begitupun sang ibu. Ia adalah murabbi tangguh bagi mutarabbinya. Teman yang enak diajak berbagi. Empati dengan permasalahan akhwatnya. Mau berkorban menolong kebutuhan saudaranya. Tapi sang ibu seringkali lupa, bila ia membaca doa rabithah, dan menyebut serta membayangkan deretan wajah-wajah sahabatnya, nama sang suami terlupa disebutnya.
Itulah, bila kemudian ada yang mengeluhkan, mengapa rumah tangga dai tak berbeda jauh dengan rumah tangga pada umumnya, barangkali faktor tarbiyah ini tak menemukan titik penting yang bisa menyentuh kebutuhan para penghuninya. Biarlah tarbiyah itu seperti air mengalir, tak usah di-planning-planning. Sehingga tausiyah yang mestinya sarat makna menjadi forum interogasi yang tidak dirindui. Sehingga kata-kata hikmah yang diucapkan adalah kata-kata yang tak mengendap di hati, sekedar masuk telinga kanan keluar ke telinga kiri. Akibatnya, banyak masalah yang mestinya kecil dan segera bisa diatasi, menjadi membesar dan tak tahu lagi kemana mencari ujung kekusutannya.
Ibarat tiang yang saling menopang, suami dan istri adalah dua tonggak tangguh yang saling menguatkan. Ketiadaan salah satunya menjadikan tiang lebih mungkin rapuh. Dan gampang dirobohkan. Sehingga proses saling mengingatkan dan berharap peningkatan kebaikan bagi yang lainnya adalah keniscayaan. Apatah lagi, kita ini sama–sama manusia dengan segala kekurangan yang melekat erat. Istri mana yang tak ingin dimanja suaminya. Dihadiahi coklat, dipersilakan istirahat, diberi ruang untuk berasyik masyuk merawat diri di salon, dibolehkan sesaat untuk membaca novel kesayangannya dan tak selalu serius memikirkan cucian yang menumpuk di ruang belakang rumahnya. Dan balasannya, ia menjadi lebih cinta kepada suaminya. Tentu sang suami manapun menginginkan istrinya menikmati posisinya sebagai istri dia seorang, agar kepemimpinannya memang benar-benar layak dibanggakan.
Bukankah kata-kata umum mengatakan, seorang lelaki lebih tahan menerima cobaan yang diperuntukkan khusus baginya. Tapi ia bisa lebih tak tahan bila cobaan itu mampir ke istri yang dicintainya, atau anak-anak yang terlahir sebab benihnya. Itu sebabnya, bila sang suami suatu saat merasa lemah, kuatkanlah ia dengan tangan tangguh terulur. Bila kenikmatan dan fasilitas duniawi menggoda, yakinlah bahwa pertolongan Allah jauh lebih kuat bila kita pun tak sanggup untuk menyentuh madu manis sampah dunia.
Jadi, mari meletakkan diri di posisi yang lebih baik dan tertata. Yakinlah, menjadi bagian kecil dari rumah tangga da’i, adalah kebanggaan dunia akhirat, dan tak mesti menghilangkan sisi kewanitaan atau keinginan-keinginan kecil yang sempat diharapkan. Toh Allah selalu bersama kita, maka nikmatilah!
Sumber : http://www.fimadani.com/menikmati-pernikahan/