Hari itu Abu Bakar kembali mencatat prestasi yang tidak bisa dilampaui Umar, apalagi orang lain. Sahabat Nabi bergelar Ash-Shidiq ini menginfakkan seluruh hartanya untuk jihad kali ini; perang Tabuk.
Meski demikian, sejarah tidak pernah mencatat Abu Bakar jatuh miskin, pailit, apalagi dikejar-kejar utang. Abu Bakar tetap diabadikan sejarah sebagai orang kaya. Saudagar besar yang dermawan. Yang kekayaannya selalu membawa kemanfaatan bagi umat. Hartanya yang banyak menopang jihad, menguatkan perjuangan. Ia tidak bermewah-mewahan dengan hartanya. Ia tetap sederhana dalam kekayaannya.
"Dua perangkap terbesar dalam hidup itu adalah", kata ayah yang kaya saat mengajari Robert T. Kiyosaki dan Michael, " ketakutan dan ketamakan."
"Takut hidup tanpa uang memotivasi kita untuk bekerja keras dan kemudian setelah menerima slip gaji, ketamakan mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang bisa dibeli dengan uang."
Orang-orang seperti itu hidup dengan membentuk pola: bangun, bekerja, membayar tagihan. Bangun, bekerja, membayar tagihan. Ketika mendapatkan uang lebih banyak, mereka meneruskan siklus itu dengan meningkatkan pengeluaran. Dan mereka –selamanya- terjebak dalam lingkaran menyesakkan: takut tidak punya uang, sekaligus tamak untuk menggunakan ketika memilikinya. Hutang kemudian menghantui kehidupan mereka. Kalaupun dengan bekerja keras kemudian menjadi kaya, ia tetap dihantui rasa takut. Ketenangan jiwa terenggut. "Inilah yang saya sebut perlombaan tikus", kata ayah yang kaya, yang menjadi inspirator Robert T. Kiyosaki menjadi investor kaya dan pakar marketing dunia.
Apa yang dicontohkan Abu Bakar 1422 tahun yang lalu bukan saja jauh mendahului teori Rich Dad, Poor Dad. Namun itu juga teladan dan amal generasi Islam terbaik. Kecerdasan finansial yang sempurna telah dipraktikkan Abu Bakar. Mudah memperoleh kekayaan, dan mudah pula menginfakkannya. Tidak ada ketakutan tidak punya uang. Tidak ada ketakutan jatuh dalam kemiskinan. Juga tidak ada kata tamak dalam kamus Abu Bakar. Harta dalam genggaman tangan, bukan menghuni hati.
Kemampuan mendapatkan kekayaan dengan mudah dan kerelaan menginfakkannya adalah dua keterampilan utama dalam kecerdasan finansial. Keduanya sekaligus menjadikan seseorang kaya hati kaya materi.
Masalahnya adalah, keduanya sangat sulit dimiliki oleh sebagian muslim hari ini. Mungkin termasuk saya dan Anda. Entahlah, mengapa dulu para ulama tidak membukukan teori mendapatkan kekayaan dengan mudah ala Abu Bakar, atau Umar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf. Lalu kita tidak gagap dengan serbuat teori Barat yang disodorkan Napoleon Hill, Robert T. Kiyosaki, dan sebagainya. Namun menyalahkan generasi terdahulu karena keterputusan ilmu adalah masalah di atas masalah. Karena sesungguhnya, masalahnya ada pada diri kita, bukan pada orang lain. Dengan demikian, tidak ada kata terlambat untuk belajar mendapatkan kekayaan dengan mudah. Ikhtiar mendapatkan sebanyak-banyaknya harta yang halalan thayyibah bukan sesuatu yang dilarang.
Jika keterampilan pertama tidak kita miliki, tidak berarti itu jaminan keterampilan kedua ada pada kita. Ia sama sulitnya. Bahkan lebih sulit. Mungkin kita beralasan, andaikan kita kaya, kita infaq sebanyak-banyaknya. Andaikan kita investor atau pengusaha kaya raya, kita shadaqah dengan nilai yang luar biasa. Kita tidak sadar, bahwa kata "andaikan" telah menjadi senjata syetan dalam mengalahkan kita. Menggelincirkan kita dalam angan-angan, menjauhkan kita dari amal.
Sahabat yang lain memberi kita teladan pada keterampilan kedua ini. Ia sehari-hari bekerja membuat keranjang. Dari modal 1 dirham, ia jual keranjangnya 3 dirham. 1 dirham untuk nafkah keluarga. 1 dirham menjadi modal untuk esok hari. Dan 1 dirham lagi ia infakkan; hari ini juga. Nama sahabat itu Salman Al-Farisi.
Mungkin kita memandang kecil infaq Salman Al-Farisi yang hanya hitungan dirham. Tetapi jika diakumulasikan setahun, bahkan sepanjang usianya, betapa luar biasa infaq Salman Al-Farisi ini. Infaqnya setara dengan kebutuhannya. Kita jadi merenung, kalau satu bulan kita menghabiskan 1 juta untuk kebutuhan kita, apakah bisa kita infaq 1 juta pula setiap bulannya? Subhaanallah. Belum lagi, saat itu ia menjabat Gubernur dan tidak mau mengambil gajinya. Semuanya ia infakkan.
Jika Abu Bakar mengeluarkan infaq besar yang luar biasa dan Salman Al-Farisi mengeluarkan infaq rutin yang istiqamah setiap harinya, keduanya mengajarkan hal yang sama: kesuksesan finansial. Potret ideal umat ini. Bebas ketakutan. Bebas ketamakan. Kaya hati kaya materi. Lalu, maukah kita berupaya ke sana? Ya Allah, mudahkanlah... [Muchlisin]
Meski demikian, sejarah tidak pernah mencatat Abu Bakar jatuh miskin, pailit, apalagi dikejar-kejar utang. Abu Bakar tetap diabadikan sejarah sebagai orang kaya. Saudagar besar yang dermawan. Yang kekayaannya selalu membawa kemanfaatan bagi umat. Hartanya yang banyak menopang jihad, menguatkan perjuangan. Ia tidak bermewah-mewahan dengan hartanya. Ia tetap sederhana dalam kekayaannya.
"Dua perangkap terbesar dalam hidup itu adalah", kata ayah yang kaya saat mengajari Robert T. Kiyosaki dan Michael, " ketakutan dan ketamakan."
"Takut hidup tanpa uang memotivasi kita untuk bekerja keras dan kemudian setelah menerima slip gaji, ketamakan mengajak kita untuk mulai berpikir tentang semua hal indah yang bisa dibeli dengan uang."
Orang-orang seperti itu hidup dengan membentuk pola: bangun, bekerja, membayar tagihan. Bangun, bekerja, membayar tagihan. Ketika mendapatkan uang lebih banyak, mereka meneruskan siklus itu dengan meningkatkan pengeluaran. Dan mereka –selamanya- terjebak dalam lingkaran menyesakkan: takut tidak punya uang, sekaligus tamak untuk menggunakan ketika memilikinya. Hutang kemudian menghantui kehidupan mereka. Kalaupun dengan bekerja keras kemudian menjadi kaya, ia tetap dihantui rasa takut. Ketenangan jiwa terenggut. "Inilah yang saya sebut perlombaan tikus", kata ayah yang kaya, yang menjadi inspirator Robert T. Kiyosaki menjadi investor kaya dan pakar marketing dunia.
Apa yang dicontohkan Abu Bakar 1422 tahun yang lalu bukan saja jauh mendahului teori Rich Dad, Poor Dad. Namun itu juga teladan dan amal generasi Islam terbaik. Kecerdasan finansial yang sempurna telah dipraktikkan Abu Bakar. Mudah memperoleh kekayaan, dan mudah pula menginfakkannya. Tidak ada ketakutan tidak punya uang. Tidak ada ketakutan jatuh dalam kemiskinan. Juga tidak ada kata tamak dalam kamus Abu Bakar. Harta dalam genggaman tangan, bukan menghuni hati.
Kemampuan mendapatkan kekayaan dengan mudah dan kerelaan menginfakkannya adalah dua keterampilan utama dalam kecerdasan finansial. Keduanya sekaligus menjadikan seseorang kaya hati kaya materi.
Masalahnya adalah, keduanya sangat sulit dimiliki oleh sebagian muslim hari ini. Mungkin termasuk saya dan Anda. Entahlah, mengapa dulu para ulama tidak membukukan teori mendapatkan kekayaan dengan mudah ala Abu Bakar, atau Umar, Utsman, dan Abdurrahman bin Auf. Lalu kita tidak gagap dengan serbuat teori Barat yang disodorkan Napoleon Hill, Robert T. Kiyosaki, dan sebagainya. Namun menyalahkan generasi terdahulu karena keterputusan ilmu adalah masalah di atas masalah. Karena sesungguhnya, masalahnya ada pada diri kita, bukan pada orang lain. Dengan demikian, tidak ada kata terlambat untuk belajar mendapatkan kekayaan dengan mudah. Ikhtiar mendapatkan sebanyak-banyaknya harta yang halalan thayyibah bukan sesuatu yang dilarang.
Jika keterampilan pertama tidak kita miliki, tidak berarti itu jaminan keterampilan kedua ada pada kita. Ia sama sulitnya. Bahkan lebih sulit. Mungkin kita beralasan, andaikan kita kaya, kita infaq sebanyak-banyaknya. Andaikan kita investor atau pengusaha kaya raya, kita shadaqah dengan nilai yang luar biasa. Kita tidak sadar, bahwa kata "andaikan" telah menjadi senjata syetan dalam mengalahkan kita. Menggelincirkan kita dalam angan-angan, menjauhkan kita dari amal.
Sahabat yang lain memberi kita teladan pada keterampilan kedua ini. Ia sehari-hari bekerja membuat keranjang. Dari modal 1 dirham, ia jual keranjangnya 3 dirham. 1 dirham untuk nafkah keluarga. 1 dirham menjadi modal untuk esok hari. Dan 1 dirham lagi ia infakkan; hari ini juga. Nama sahabat itu Salman Al-Farisi.
Mungkin kita memandang kecil infaq Salman Al-Farisi yang hanya hitungan dirham. Tetapi jika diakumulasikan setahun, bahkan sepanjang usianya, betapa luar biasa infaq Salman Al-Farisi ini. Infaqnya setara dengan kebutuhannya. Kita jadi merenung, kalau satu bulan kita menghabiskan 1 juta untuk kebutuhan kita, apakah bisa kita infaq 1 juta pula setiap bulannya? Subhaanallah. Belum lagi, saat itu ia menjabat Gubernur dan tidak mau mengambil gajinya. Semuanya ia infakkan.
Jika Abu Bakar mengeluarkan infaq besar yang luar biasa dan Salman Al-Farisi mengeluarkan infaq rutin yang istiqamah setiap harinya, keduanya mengajarkan hal yang sama: kesuksesan finansial. Potret ideal umat ini. Bebas ketakutan. Bebas ketamakan. Kaya hati kaya materi. Lalu, maukah kita berupaya ke sana? Ya Allah, mudahkanlah... [Muchlisin]